Oleh : Nurlinda Lubis, Apt.,M.Si
(Pengawas Farmasi Ahli Madya BBPOM di Banda Aceh)
Acehglobal.com
Pelayanan kesehatan saat ini mendapat tantangan yang luar biasa dari segala sisi kehidupan. Hari Kesehatan Dunia atau World Health Day diperingati setiap 7 April untuk menandai berdirinya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1948.
Peringatan Hari Kesehatan Dunia memungkinkan kita untuk kembali fokus pada kesehatan pribadi dan pentingnya menjaga kesehatan diri terutama pada saat timbul gejala sakit pada tubuh agar tidak meminum sembarangan obat obatan, terutama obat golongan antibiotika.
Selama ini penggunaan obat golongan antibiotika menjadi yang terpenting di dalam pengobatan suatu penyakit. Meski tidak selalu harus mengobati dengan antibiotika, namun pasien mencari untuk keperluan pengobatan diri sendiri (swa medikasi) atau meminta dokter untuk meresepkan. Era penemuan antibiotik membuat terapi dan aspek bedah kedokteran klinis relatif lebih aman, termasuk prosedur persalinan, transplantasi organ, dan pengobatan kanker dapat diatasi melalui antibiotika.
Penggunaan antibiotika cukup luas di masyarakat dan sangat diminati. Sejak ditemukan pertama kali oleh Alexander Fleming pada tahun 1928 antibiotika jenis Penicillin cukup ampuh dalam mengatasi penyakit infeksi yang disebabkan oleh serangan bakteri stafilokokus.
Seiring berjalannya waktu, penelitian untuk penemuan antibiotika yang baru juga berkembang sangat pesat dalam mengatasi infeksi yang sangat beragam kasusnya.
Antibiotika adalah pilar pengobatan modern. Penggunaannya sangat signifikan dalam mengurangi angka kematian anak. Selain itu, antibiotika sangat penting untuk keperluan tindakan operasi invasif dan perawatan kompleks seperti kemoterapi. Antibiotika adalah alat bantu yang tak tergantikan di era kompleks operasi yang dipandu robotika dll.
Dalam beberapa dekade terakhir ini timbul gejala resistensi penggunaan antimikroba pada manusia. Kondisi tersebut mengancam keselamatan umat manusia itu sendiri pada proses pengobatan yang sedang dijalani oleh pasien yang sedang sakit. Pasien tak dapat disembuhkan lalu berakibat pada kematian, dan kasus ini cukup banyak terjadi di semua negara.
Upaya pengobatan akan mengalami kegagalan apabila hal ini terus diabaikan. WHO sebagai Badan Kesehatan dunia telah menyuarakan kasus resistensi antimikroba ini dengan lebih fokus pada rumah sakit untuk memperbaiki konsumsi antibiotika pada pengobatan mengingat situasi keampuhan antibiotika yang mulai tidak bereaksi dalam pengobatan penyakit akibat infeksi.
Dapatkah kita bayangkan bila tidak cepat merespon situasi ini akan menjadikan masalah pada goresan atau luka kecil berakibat kematian. Ini adalah momok infeksi akibat antimicrobial resistence (AMR) atau kita kenal sebagai resisten antibiotika. AMR merupakan salah satu prioritas dalam agenda kesehatan global, dengan perkiraan kematian 1,27 juta dan berkontribusi dalam 4,95 juta kematian per tahun.
Resistensi Antimikroba
Antimikroba yang kita kenal sebagai antibiotika merupakan obat anti infeksi yang telah dikenal luas penggunaannya dalam dunia pengobatan. Potensinya sangat ampuh dalam mengobati mikroba jenis bakteri. Tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, antibiotika sangat mudah diperoleh baik di Indonesia maupun di berbagai negara lainnya. Beberapa negara sangat ketat dan terbatas dalam pemberian antibiotika kepada pasien terutama pada OTC atau pembelian bebas.
Reaksi tubuh yang sakit sering diawali dengan demam sedang hingga demam yang tinggi, kondisi ini lumrah dirasakan orang yang sakit maupun pasien di rumah sakit karena hal tersebut merupakan reaksi tubuh adanya gangguan kesehatan yang penyebabnya beragam seperti, perubahan tumbuh kembang pada bayi dan anak anak, dampak perubahan iklim, penyebaran penyakit oleh mikroba dan lainnya.
Reaksi tubuh yang panas merupakan sinyal terhadap perlunya pengobatan bagi yang sakit. Sudah tentu kondisi tersebut harus diobati segera minimal dengan obat golongan antipiretik (penurun panas). Pada situasi ini belum memerlukan pengobatan dengan antibiotika, kecuali demam berlanjut.
Demikian pula pada penanganan pasien di rumah sakit perlu pemilihan obat yang rasional dengan ketepatan jenis dan dosis antibiotika dalam upaya menurunkan dampak bahaya resistensi antibiotika.
Antimikroba digunakan untuk mencegah, mengendalikan dan mengobati penyakit menular pada manusia, hewan dan tumbuhan, tetapi semakin tidak efektif karena terjadinya resistensi antimikroba.
Resistensi Antimikroba adalah suatu keadaan dimana mikroorganisme mampu untuk bertahan pada dosis terapi senyawa antimikroba, sehingga mikroorganisme tersebut masih mampu berkembang, mengurangi keampuhan obat, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, memperparah, dan menyebabkan kematian dalam tindakan pengobatan pada manusia, hewan, ikan, dan tumbuhan.
Resistensi antimikroba di Indonesia berpotensi mengganggu pencapaian target pembangunan nasional di bidang pengendalian penyakit dan ketahanan pangan serta ketahanan kesehatan nasional, sehingga setiap negara direkomendasikan memiliki strategi dan rencana implementasi pengendalian resistensi antimikroba, untuk meningkatkan sinergi, kerjasama, dan kolaborasi dalam perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan dalam upaya meningkatkan kemampuan mencegah, mendeteksi, dan merespons ancaman kedaruratan kesehatan masyarakat dan/atau bencana non alam akibat resistensi antimikroba.
Faktor pemicu terjadinya resistensi antimikroba dapat ditinjau dari segi mutu produk dan prilaku manusia. Produk itu sendiri jika antimikroba yang digunakan adalah substandar atau bahkan palsu, tentunya meningkatkan potensi resistensi antimikroba pada individu yang mengkonsumsi sehingga semua pihak perlu menjaga mutu antimikroba sepanjang jalur distribusi dan menjaga integritas jalurnya agar tidak dimasuki oleh obat ilegal atau profesi.
Resistansi Antimikroba yang semakin berkembang menimbulkan ancaman signifikan terhadap kesehatan masyarakat. Tidak berlebihan kalau AMR disebut sebagai pandemik senyap karena Indonesia termasuk negara yang banyak mengkonsumsi antimikroba.
Pengendalian AMR
Bila kita bicara terkait AMR yang terpenting adalah bagaimana upaya yang dapat kita lakukan dalam mengendalikan dan mendorong upaya bersama lintas sectoral. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan nasional untuk pengendalian AMR melalui Peraturan Kemenko PMK No. 7/2021, yang membahas Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) 2020-2024 dengan mengadopsi pendekatan One Health dengan strategi memperkuat komitmen pada pendekatan kolaboratif, agar bisa secara efektif menangani ancaman AMR global. One Health adalah pendekatan secara menyeluruh yang mengakui kesehatan hewan, manusia, tumbuhan, dan lingkungan sebagai satu kesatuan tak terpisahkan dan saling bergantung.
AMR ini merupakan tanggungjawab bersama semua pemangku kepentingan. Dalam melaksanakan RAN Pengendalian Resistensi Antimikroba kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dapat melibatkan: organisasi profesi, organisasi masyarakat, asosiasi pelaku usaha, institusi pendidikan, dan/atau industri. Semangat kolaborasi lintas sektor yang sering disebut juga sebagai one health approach, yang melibatkan Kemenkes, BPOM, KLHK, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan di bawah koordinasi Kemenko PMK.
Di level Badan POM, telah terbit SK Kepala BPOM No. HK.02.02.1.2.03.20.98 Tahun 2020 tentang Peta Jalan Rencana Aksi Pengendalian Anti Microbial Resistance (AMR) di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2020 – 2024 yang terdiri dari 4 sasaran strategis, yaitu:
- Meningkatkan kesadaran dan pemahaman terhadap AMR
- Meningkatkan koordinasi dalam upaya pengendalian AMR
- Mengoptimalkan penggunaan antibiotika
- Meningkatkan pengetahuan dan bukti melalui surveilan dan penelitian antibiotik
Pengawasan di fasilitas pelayanan kefarmasian merupakan salah satu tugas pokok dan fungsi Badan POM sebagai upaya penjaminan mutu obat antimikroba di sepanjang jalur distribusi. Pengawasan oleh Badan POM perlu melibatkan UPT BPOM di seluruh Indonesia dalam berbagai upaya masif dan berkesinambungan untuk menanggulangi terjadinya AMR ini.
Strategi pengawasan antimikroba termasuk pengawasan kolaboratif, pencegahan dan pengendalian infeksi, dan koordinasi multisektoral sebagai upaya untuk mengendalikan AMR.
KEPUSTAKAAN
Desrini, S. (2015). Resistensi Antibiotik, Akankah Dapat Dikendalikan ? Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Indonesia
Gunawan et al. 2021, Edukasi Mengenai Penggunaan Antibiotik yang Rasional di Lingkungan SMK Negeri 1 Tambelang Bekasi, Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia, Vol. 4, No. 1, Mei, Hal. 156-164
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (2021). Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba Tahun 2020-2024
Muntasir, dkk, 2022, antibiotik dan resistensi antibiotik
https://journals.plos.org/plospathogens/article/figure?id=10.1371/journal.ppat.1010537.g001
https://amr.biomerieux.com/en/challenges/from-farm-to-food-to-people-one-health/
https://aricjournal.biomedcentral.com/
BIODATA PENULIS
Nama : Nurlinda Lubis, Apt.,M.Si
Alamat: Kantor Balai Besar POM Banda Aceh, Jalan Daud Beureueh No.110 Banda Aceh
E-mail : nurlinda.lubis@pom.go.id
Nomor Hp : 0811-6877-276
Pekerjaan : Pengawas Farmasi dan Makanan, Balai Besar POM di Banda Aceh