Acehglobal.com – Banda Aceh.
Pengamat Sosial, Politik dan Pembangunan Universitas Abulyatama (Unaya) Aceh Usman Lamreung menyatakan, Penemuan sumur minyak dan gas (Migas) bumi di lepas pantai utara Aceh berhembus lembut menerpa wajah masyarakat daerah ini.
Hembusan angin adanya penemuan migas yang dikabarkan terbesar di dunia. satu sisi kabar gembira itu membuat kita sebagai warga Aceh menjadi sebuah nuansa baru, disisi lain memang apa untungnya buat rakyat Aceh atas penemuan cadang migas lepas utara Aceh bila rakyat terus harus antri isi BBM, gas elpiji pun harga melambung tinggi.
Kabar angin yang memberikan harapan palsu pada rakyat Aceh, karena ada atau tidak cadang minyak dan gas di Aceh, rakyat hanya menghirup bau dan debu, selama ini dirasakan dan dinikmati, kata Usman dalam keterangannya Senin (1/1/2024).
Yang menjadi pertanyaan apakah penemuan minyak dan gas itu akan mensejahterakan rakyat Aceh? Atau sebaliknya, Rakyat Aceh tetap saja miskin, terpuruk dan tak berdaya. Isi BBM saja harus antri apalagi menikmati gas dirumah-rumah dengan gratis, cetus Usman.
Usman mencontohkan, dimana belahan negara dengan sumber kekayaan alam yang melimpah, bukannya menjadi berkah bagi rakyat, malahan menjadi paradox. daerahnya kaya, tetapi rakyat hidup dalam keterbelakangan dan menderita.
Contoh lainnya kata Usman lagi, oknum pejabat daerah terlibat korupsi dengan “menjual” kekayaan daerah dengan tidak membagi manfaat kepada rakyatnya. Ini yang disebut sebagai kutukan tambang.
Daerah-daerah seperti Sangasanga Kalimantan Timur di era 1980-an, Pulau Buru di Maluku (2011), Arun di Lhokseumawe (1990-an) adalah contoh yang paling dekat. Dan, yang sedang terjadi didepan mata kita adalah BLOK – A (Medco) Aceh Timur (2018).
Dimana Proyek BLOK A (Medco) yang mulai dikerjakan pada tahun 2016 mulai produksi pada tahun 2018 dinilai belum memberi kontribusi signifikan kepada daerah dan masyarakatnya.
Bahkan Kabupaten Aceh Timur dipastikan kehilangan potensi keuntungan dari kewenangan atas 10 % penyertaan modal dari BLOK A, disebabkan Pemerintah Kabupaten itu gagal menginvestasikan modalnya sesuai Permen ESDM No 37 thn 2016 tentang ketentuan penawaran Participaty Interest 10 % pada wilayah kerja minyak dan gas bumi, kata Usman
Suatu daerah bisa maju dan memberi kontribusi yang berarti buat masyarakat bukan semata-mata dengan mengandalkan kekayaan alamnya, namun juga dari inovasi dan kreativitas daerah tersebut.
Hal ini dapat dilihat di Kecamatan Indra Makmur Aceh Timur, dimana proyek pembangunan kilang gas BLOK – A yang mulai produksi tahun 2018 hingga saat ini.
Ironisnya kata Usman, dimana hubungan perusahan dan rakyat sekitar tambang sering menimbulkan banyak masalah seperti kasus bau yang bocor sejak Mei 2019 hingga sekarang yang masih saja terjadi, konflik masyarakat dengan perusahaan hingga saat ini tak kunjung selesai.
Pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar tambangpun bermasalah, perusahaan tidak memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat, hingga peluang-peluang usaha baru tidak tumbuh ataupun berkembang.
Minimnya kontribusi ekonomi dari operasional migas di BLOK A kepada masyarakat lingkar tambang suatu ketidaksiapan Pemerintah Daerah menghadapi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur.
Sebagaimana diketahui, perusahaan migas pasti membutuhkan tenaga kerja yang memiliki ketrampilan, dan padat modal. sementara kesempatan kerja di Aceh Timur mayoritas berada pada sektor perkebunan dan pertanian, terutama desa dalam wilayah kerja BLOK A. Tentu sektor migas tidak secara langsung memberikan peluang kerja bagi penduduk setempat.
Seharusnya Pemerintah daerah sejak awal menyiapkan sumberdaya manusia yang handal dan profesional, namun Pemerintah daerah dengan kewenangan yang ada, luput menyiapkan regulasi tentang perlindungan dan pemberdaya an potensi-potensi lokal yang mengatur tentang keterlibatan kontraktor-kontraktor daerah BLOK A dalam memberdayaan seluruh potensi-potensi lokal tersebut.
Sehingga, potensi-potensi lokal seperti Tenaga Kerja (Naker), badan usaha Gampong, pengusaha-pengusaha kecil merasa ditinggalkan atau menjadi penonton.
Pemerintah Aceh, BPMA dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban dari sekarang menyiapkan regulasi dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dalam bidang migas, agar masyarakat tidak menjadi penonton di daerahnya sendiri. saat perusahaan tambang migas membutuhkan tenaga kerja, namun rakyat Aceh tidak kebagian.
Kemudian DPRA, Pemerintah Aceh, BPMA dan pihak Kabupatan/Kota bersinergi menyiapkan SDM yang potensial, dalam beberapa tahun ke depan sudah barang pasti perusahaan migas yang beroperasi di Aceh akan membutuhkan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja lokal.
Sudah saatnya merumuskan regulasi bersama, agar rakyat Aceh bisa juga terlibat, tidak hanya sebagai penonton dan membuka lapangan kerja, yang merupakan salah satu solusi dalam pengentasan kemiskinan, tutur Usman.(**)