Acehglobal.com – Banda Aceh.
Dalam kebijakan politik anggaran dan belanja public Aceh ternyata isu Dana Otonomi Khusus (Otsus) masih saja menjadi bancakan anggaran Pemerintah Pusat Jakarta, melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia yang sesungguhnya ini adalah permainan “politik usang” yang nir-makna bagi rakyat Aceh.
Hanya saja, anggaran yang telah direncanakan mengalokasikan Rp 3,74 triliun untuk tahun 2026 melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dan nilai ini menurun dari tahun 2025 Rp 4,309 triliun.
Menurut Pengamat Ekonomi Dr Taufik A Rahim pada Kamis (4/9/2025) dimana pada dasarnya dana Otsus tersebut hanya persoalan politik konsekwensi dari Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005 yang lalu.
Kemudian dituangkan dalam kebijakan politik Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Pasal 183 yang mengatur tentang Dana Otsus Aceh.
Hal ini merujuk kepada besaran Dana Otsus untuk tahun pertama sampai kelima belas adalah 2% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) secara Nasional.
Kemudian pada tahun kelima belas hingga kedua puluh adalah sebesar 1% dari plafon DAU nasional.
Bahkan sampai dengan saat ini, penggunaan serta pengalokasian Dana Otsus Aceh telah mencapai sekitar Rp 110 triliun, namun sesungguhnya secara politik bahwa, Dana Otsus yang dialokasikan melalui APBA hanya dinikmati oleh “Trias politica” (eksekutif, legislative dan yudikatif).
Hal ini secara realitas melalui program dan proyek fisik dan pemanfaatan bancakan anggaran yang hanya memperbesar pundi-pundi kekuasaan para elite politik dan birokrasi Aceh.
Sehingga “kue anggaran belanja publik” tersebut menjadi resmi oleh pemangku kekuasaan politik, elite politic, birokrasi dan kelompok tertentu, mengelola, mengolah dan memanfaatkannya untuk kepentingan politik, jelas Taufik A Rahim.
Oleh karena itu, impak dari Dana Otsus bagi rakyat Aceh diperkirakan tidak mencapai sekitar 10%, praktik anggaran Dana Otsus ini hanya untuk kepentingan elite dan kekuasaan politik Aceh saja, bukan untuk rakyat Aceh.
Demikian juga Dana Otsus yang telah dikucurkan tersebut selama ini juga tidak menjadi stimulus makro ekonomi Aceh, terutama untuk rakyat kecil dan akar rumput.
Hal yang prinsipil adalah tidak menunjang serta mendorong stimulus ekonomi sektor basik (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan/nelayan), juga tidak dirasakan langsung menunjang sektor informal.
Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), pedagang kaki lima, industri rumah tangga dan banyak lagi aktivitas ekonomi rakyat secara ril jauh dari Dana Otsus.
Ini disebabkan administrasi birokrasi dan berbagai persyaratan yang sulit dijangkau oleh rakyat kecil di Aceh.
Sehingga berbagai urusan pengelolaan serta “olah-mengolah” Dana Otsus itu ibarat politik anggaran Pemerintah Pusat Jakarta untuk Aceh, seperti membuang “garam satu kontainer ke Laut Selat Malaka”, kata Taufik.
Jadi secara politik dan konsekwensi Damai Aceh (Mou Helsinki) sia-sia belaka, sehingga memiliki kesan “hidden agenda” Pemerintah Pusat Jakarta untuk sekedar meredam gejolak politik di Aceh.
Pada prinsipnya dari MoU Helsinki yang turunannya pada UUPA, menghendaki Aceh memiliki kewenangan politik dengan “lex specialist”, juga memiliki catatan yang prinsipil adalah berhak mengatur serta menentukan diri sendiri (Self Determination), ini memiliki makna luas termasuk Self Governance dan Good Government.
Kalau asumsi Pemerintah Pusat Jakarta hanya melayani kepentingan elite politik Aceh dengan kebijakan anggaran publik melalui Dana Otsus yang selalu didorong-dorong oleh para politisi yang gagal nalar, agar ditambahnya Dana Otsus.
Ini menandakan bahwa, Pemerintah Pusat Jakarta tidak paham politik dan “berolok-olok”, alias main-main dengan Konsensus Perdamaian Aceh melalui MoU Helsinki 2005, karena sama sekali tidak paham Aceh dan kehidupan rakyat Aceh yang secara analisis statistik yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa, Aceh adalah Provinsi termiskin Se-Sumatera.
Sektor pengangguran terbuka tinggi sekitar 880.000, masyarakat rentan miskin lebih satu juta orang dari sekitar 5.800 ribu penduduk Aceh. Meskipun Aceh memiliki beragam sumber daya alam serta sumber daya ekonominya berlimpah.
Dikarenakan wewenang mengelola serta wewenang politik yang sentralistik diatur oleh Pemerintah Pusat Jakarta, menjadikan elite politik serta pemimpin Aceh sangat tergantung kepada kebijakan politik dan kebijakan anggaran belanja publik dari Pusat Jakarta.
Jadi, Aceh tidak memiliki independent dalam mengurus dirinya sendiri, terkesan berlaku “neo-colonialism”, jelas Taufik.
Taufik menambahkan, Dengan demikian berapa-pun dialokasikan Dana Otsus bagi Aceh, sesungguhnya ini permainan politik using, tidak bermakna bagi rakyat, sehingga kebijakan politik anggaran melalui Dana Otsus selama ini tidak pro-rakyat.
Mesti dipahami saat ini, rakyat Aceh secara politik memiliki tuntutan lain secara politik terhadap keberadaan Aceh.
Karena itu, “hidden agenda” politik untuk meredam keinginan politik Aceh ini tidak tergantung kepada Pemimpin Aceh, karena catatan sejarah Aceh dalam pergolakan serta pergerakan politiknya tidak tergantung kepada figur atau sosok pemimpin dan panglima.
Ini merupakan gerakan egalitarianisme politik yang berlaku di Aceh, jika keinginannya dibungkam, didiskriminasi, dijajah serta dilanggar secara hukum, etika-moral dalam kehidupan ril secara mandiri sehari-hari.
Sehingga Dana Otsus bukan solusi terbaik untuk Aceh, ini hanya permainan serta kepentingan elite politik saja, ujar Taufik.(**)