Acehglobal.com – Banda Aceh.
Teka-teki akankah realisasi Tambang rakyat tu terwujud perlu komitmen dari Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana Aceh adalah sebuah Provinsi di pulau Sumatera yang terletak antara 01º 58’ 37,2” sampai 06º 04’ 33,6” Lintang Utara dan 94º 57’57,6” sampai 98º 17’ 13,2” Bujur Timur.
Di sebelah utara, Aceh berbatasan dengan Selat Malaka dan Laut Andaman, di sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Hindia, di sebelah timur berbatasan dengan Sumatera Utara dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
Letak Aceh terhitung strategis karena menjadi pintu gerbang lalu lintas perdagangan Nasional dan Internasional yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat dengan batas wilayahnya.
Luas wilayah Aceh mencapai 57.956 kilometer persegi atau setara 3,02 persen dari luas Indonesia. Jumlah penduduk Aceh Tahun 2024 mencapai 5.570.453 jiwa (bertambah 54.614 atau 0,98%), dan tahun 2025 menjadi 5.623.479 jiwa (bertambah 53.026 atau 0,94%), jiwa, laki-laki sebanyak 2.789.691 jiwa dan perempuan sebanyak 2.765.124 jiwa Terbagi ke dalam 23 Kabupaten/Kota, 289 Kecamatan dan 6515 Gampong yang Petumbuhan penduduk Aceh tergolong lamban, di bawah 1 % setiap tahun.
Aceh memiliki 331 pulau yang di diami oleh delapan kelompok etnis yaitu, etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, tarian, musik, dan adat istiadat.
Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Aceh, juga terdapat sembilan bahasa asli Aceh lainnya yaitu, bahasa Aneuk Jamee (Jamee), bahasa Singkil, bahasa Gayo, bahasa Kluet, bahasa Temiang, bahasa Alas, bahasa Devayan, bahasa Sigulai, bahasa Lekon, bahasa Pakpak dan bahasa Haloban, Aceh satu bangsa yang kaya luar biasa adat dan budaya.
Pembangunan Manusia di Aceh terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sekitar 75,36 pada tahun 2024. IPM Aceh itu masuk status “tinggi” dan berada di peringkat 11 dari 34 Provinsi dan peringkat ke 5 se Sumatera.
Peningkatan IPM tersebut didukung oleh peningkatan komponen pendukungnya. Umur Harapan Hidup (UHH) tahun 2024 tercatat 73,20 tahun, Harapan Lama Sekolah (HLS) mencapai 14,39 tahun, dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) tercatat 9,64 tahun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Aceh mencapai 5,75 persen pada Agustus 2024.
Adapun Tingkat Partisipasi Angkatan kerja (TPAK) Aceh tahun 2024 tercatat 71,10 persen, terendah di Pulau Sumatera. Aceh masih menempati provinsi termiskin di Sumatera, jumlah penduduk miskin masih tergolong tinggi 12,33 persen. Pada Maret 2024, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Aceh yang diukur oleh Gini Ratio tercatat sebesar 0,282.
Angka ini sedikit mengalami turun dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan II 2025 tercatat 4,82% (secara tahunan). Pertumbuhan ini ditopang oleh sektor pertanian, transportasi dan perdagangan, serta konsumsi rumah tangga dan ekspor. Meskipun ada peningkatan, angka pertumbuhan tersebut masih berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera (4,96%) dan nasional (5,12%).
Aceh yang dianugerahi sumber daya alam yang melimpah oleh Allah SWT, dari ujung barat Sumatera ini, kita menemukan jejak emas, batu bara, bijih besi, hingga galian C yang tersebar di banyak kabupaten. Dipantai timur kita menemukan minyak dan gas. Namun, di balik potensi yang besar itu, muncul dilema panjang, bagaimana mengelola tambang rakyat agar memberi manfaat ekonomi tanpa merusak lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas tambang rakyat di Aceh meningkat pesat, terutama di wilayah seperti Aceh selatan, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, Pidie dan Aceh Tengah. Bagi masyarakat pedesaan, tambang rakyat menjadi “penyelamat ekonomi” di tengah terbatasnya lapangan kerja formal.
Dengan peralatan sederhana, mereka menggali emas atau batu dari perut bumi demi menafkahi keluarga. Tidak sedikit pula yang menggantungkan hidup dari rantai ekonomi tambang, seperti penyedia logistik, transportasi, hingga pedagang kecil di sekitar lokasi.
Namun, di sisi lain kegiatan tambang rakyat ini kerap berjalan tanpa izin resmi dan tanpa pengawasan teknis. Banyak lokasi tambang beroperasi di kawasan hutan lindung atau daerah aliran sungai. Penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dalam proses pemisahan emas menjadi ancaman serius bagi ekosistem dan kesehatan manusia.
Air sungai yang dulunya jernih kini berubah keruh, bahkan beracun, Hutan yang dulu rimbun kini gundul, menyisakan longsoran tanah dan lubang-lubang menganga yang membahayakan keselamatan warga.
Praktik tambang ilegal masih terjadi dan menjadi salah satu tantangan pengelolaan di Aceh, yang dapat berdampak pada lingkungan. Inilah paradoks besar tambang rakyat di Aceh antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Jika pemerintah hanya menutup tambang tanpa solusi alternatif, masyarakat kehilangan mata pencaharian. Namun jika dibiarkan tanpa aturan, kerusakan lingkungan akan menjadi bom waktu yang dampaknya jauh lebih besar di masa depan.
Oleh karena itu, pendekatan represif semata tidak akan menyelesaikan masalah. Diperlukan kebijakan yang lebih manusiawi dan adaptif terhadap realitas sosial masyarakat. Pemerintah Aceh bersama Kabupaten/Kota perlu menempuh jalan tengah, menata tambang rakyat melalui legalisasi bertahap dan pembinaan berkelanjutan.
Langkah pertama adalah mempercepat penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) bagi kelompok masyarakat yang memenuhi kriteria. Proses perizinan harus sederhana, transparan dan berbasis wilayah yang sudah ditetapkan sesuai tata ruang. Dengan demikian, pemerintah dapat mengawasi kegiatan tambang secara resmi sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi penambang.
Kedua, perlu dilakukan pendampingan teknis dan edukasi lingkungan bagi para penambang. Pemerintah daerah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi di Aceh dapat berkolaborasi mengembangkan teknologi pengolahan emas tanpa merkuri, sebagaimana sudah diterapkan di beberapa daerah lain di Indonesia. Teknologi ramah lingkungan tidak hanya melindungi alam, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan hasil produksi tambang rakyat.
Ketiga, kegiatan tambang rakyat harus diintegrasikan dengan sistem ekonomi lokal berbasis koperasi atau BUMG. Dengan cara ini, keuntungan tidak hanya dinikmati oleh penambang individu, tetapi juga dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mendukung pembangunan Gampong. Keterlibatan lembaga adat juga penting untuk memastikan praktik tambang berjalan sesuai norma sosial dan nilai-nilai kearifan lokal Aceh yang menjunjung keseimbangan dengan alam sesuai dengan fungsi dan kewenangan Majelis Adat Aceh dalam Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2019 tentang Majelis Adat Aceh .
Selain itu, transparansi data dan pengawasan partisipatif menjadi kunci keberhasilan. Masyarakat sekitar, tokoh adat dan organisasi lingkungan harus dilibatkan dalam pemantauan dampak tambang. Ketika masyarakat diberi ruang untuk berperan aktif, kepedulian terhadap kelestarian lingkungan akan tumbuh secara alami. Pada akhirnya, tambang rakyat di Aceh tidak harus menjadi kutukan.
Jika dikelola dengan bijak, ia bisa menjadi motor ekonomi rakyat yang memperkuat kemandirian desa dan daerah. Kuncinya adalah kemauan politik untuk menata, membina, dan mengawasi secara konsisten. Aceh memiliki peluang besar untuk menunjukkan bahwa tambang rakyat bisa berjalan berkeadilan dan berkelanjutan. Bukan sekadar menggali kekayaan alam, tetapi juga menambang harapan bagi masa depan di mana kesejahteraan manusia dan kelestarian bumi bisa berjalan seiring.
Kewenangan Pengelolaan pertambangan di Aceh diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan hak istimewa kepada daerah dalam mengelola sumber daya alam, seperti yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 (yang telah diubah oleh Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 tentang pertambangan mineral dan batubara di Aceh.
Qanun ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk mengelola pertambangan mineral dan batubara. Peraturan Pemerintah (PP) No 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan Wilayah Pertambangan Rakyat WPR adalah bagian wilayah pertambangan tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.
Wilayah pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan batu bara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Kriteria Wilayah Pertambangan Rakyat adalah kegiatan pertambangan rakyat yang dilaksanakan dalam suatu WPR, yang selanjutnya kegiatan pertambangan rakyat itu dikelompokkan menjadi Pertambangan mineral logam, Pertambangan mineral bukan logam dan Pertambangan batuan.
Untuk sebuah wilayah pertambangan dapat ditetapkan sebagai WPR adalah wilayah pertambangan tersebut harus memenuhi kriteria-kriteria berikut, mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi Sungai. Mempunyai cadangan primer mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 meter, endapan teras, dataran banjir dan endapan sungai purba dengan luas maksimal WPR adalah 100 hektare dan menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang dan/atau memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan Ketentuan mengenai wilayah pertambangan mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan.
Dimana hasil kerja Pemerintah mengumumkan Wilayah Pertambangan Rakyat, sudah sekian lama sejak Gubernur mengumumkan Tambang Ilegal harus ditutup. Dan segerakan Sosialisasi cara untuk Perolehan Izin Pertambangan Rakyat,
Perlu dipahami bahwa, Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang menjadi izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam WPR dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Dalam hal memperoleh IPR, pemohon harus menyampaikan permohonan kepada Menteri di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan IPR hanya dapat diajukan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai WPR. IPR hanya diberikan oleh Menteri, sesuai ketentuan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara kepada orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat atau koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat. ***