Acehglobal.com – Banda Aceh.
Majelis Adat Aceh (MAA) adalah suatu lembaga yang mempunyai tugas untuk melestarikan dan mengembangkan adat, seni dan budaya yang berada dalam provinsi Aceh. Aceh merupakan daerah yang multi kultural sehingga dikenal memiliki kekayaan/ keberagaman khazanah kebudayaan, kesenian dan adat istiadat, dimana Aceh memiliki 2 Lembaga Adat, yaitu Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Adat Aceh.
Dalam perspektif Masyarakat Aceh pada dasarnya terjadi dari dua faktor yaitu ; faktor genealogis dan faktor teritorial. Faktor genealogis berdampak mendominasi wilayah garis keturunan dan strata kedudukan keluarga dalam masyarakat, sedangkan faktor teritorial berdampak pada fungsi kekuasaan wilayah dan kewenangan pengurusan untuk mengelola dan menikmati hasil-hasil Sumber Daya Alam (SDA) bagi kesejahteraan.
Dari faktor-faktor itu muncul komunitas masyarakat seperti ; Gampong dan Mukim di Aceh, serta lembaga-lembaga adat lainnya, seperti; Panglima laot, Keujreun Blang, Peutua Seuneubok, Peutua Glee, Pawang Huteun, Harya Peukan, Syahbanda dan lain-lain.
Tanah dengan segala isinya pada kawasan teritorial ini dipandang sebagai tanah glee/ tanoh huteun, tanah ulayat yang dikuasai oleh masyarakat setempat dan difungsikan sebagai hak mereka untuk dikelola bagi kesejahteraannya (hak masyarakat dan individu/ warisan alamiah/anak cucu).
Hak tanoh Glee/Ulayat itu, ditinjau dari aspek alamiah dasar yang merupakan hak dari persekutuan atas tanah yang didiami (wilayah kekuasaan ).
Sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh kepala masyarakat atas nama persekutuan. Itulah sejarah panjang hak-hak adat, milik Poetallah (milik Allah) yang diyakini oleh masyarakat sekitarnya ( termasuk Aceh ) sebagai pihak yang paling berwenang untuk menguasai dan menggarapnya.
Salah satu ciri pokok keberadaan masyarakat adat adalah kehidupan yang integral dengan alam (Kosmos). Tanah, hutan dan air merupakan tiga elemen penting yang membentuk, menopang dan mengembangkan eksistensi masyarakat adat.
Hutan/rimba dan padang/data semuanya termasuk bagian ruang lingkup ”hukum tanah”.
Pada kawasan-kawasan itu muncul hak-hak publik/kepentingan umum, yang dikenal dengan hak ulayat/hak purba/tanoh raja yang dikuasai oleh suatu clan/kelompok komunitas masyarakat, seperti Gampong/Desa atau mukim di Aceh.
Hanya persekutuan masyarakat itu sendiri beserta para warganya yang berhak berperan mempergunakan fungsi tanah-tanah liar dalam wilayahnya, sedangkan orang luar untuk mempergunakan tanah itu harus mendapat izin dari masyarakat setempat.
Yang menjadi objek hak ulayat adalah: tanah, air, sungai (danau, pantai/ perairan ), tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar ( pohon buah-buahan, pohon hutan kayu ) dan binatang yang hidup di dalamnya.
Pada hak ulayat/ hak umum melekat hak-hak individual anggota masyarakat setempat untuk memiliki atau menguasai dan mengelola serta mengawasi segala sumber alam, berupa tanah dan segala lat-batat kayee-batee (sumber manfaat lainnya) yang ada diatas/dibawah bumi untuk kesejahteraan hidup.
Lembaga-Lembaga Adat Di Aceh.
Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang mempunyai wilayah tertentu, harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang dalam mengatur sumber alam dan mengurus untuk menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh dalam wilayah kewenangannya.
Misalnya: masyarakat Aceh, Masyarakat Gayo, MasyarakatTamiang dll.
Dalam budaya adat Aceh, ada dua kawasan pemerintahan otonomi sebagai sumber asal berhimpun dan menetapnya penduduk yaitu ;
A. Gampong: Merupakan kesatuan masyarakat hukum yang merupakan sebuah organisasi Pemerintahan terendah langsung di bawah Mukim yang menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong ( Qanun, No.5 Tahun 2003 )
B. Mukim : Kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Imeum Mukim. Imeum Mukim adalah Kepala Pemerintahan Mukim( Qanun No 4 Tahun 2003 )
C. Lembaga-lembaga Adat yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat /ekonomi, yaitu :
1. Keujreun Blang : orang/ ketua adat yang membantu pimpinan Gampong / Mukim dalam urusan pengaturan irigasi untuk pertanian/ persawahan dan sengketa sawah.
2. Panglima Laot : Orang/ Ketua adat yang memimpin urusan bidang pengaturan penangkapan ikan di laut/ sengketa laot
3. Peutua Seuneubok: Orang /Ketua adat yang mengatur ketentuan-ketentuan tentang pembukaan hutan / perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/ lembah-lembah
4. Pawang Huteun/ Uteun/ Pawang Glee; orang yang bertanggung jawab tentang pemeliharaan dan pemanfaat hutan.
5. Hari Peukan : Orang/Pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pengutip retribusi pasar pada tingkat Mukim/Kecamatan.
6. Syahbandar : Orang/Pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau.
7. Dan lain-lain sesuai dengan lingkungan masyarakat adat setempat. (**)