Acehglobal.com – Banda Aceh.
Penyidik Ditreskrimsus Polda Aceh bersama Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Aceh menggelar Forum Group Discussion (FGD) untuk menyamakan persepsi terkait kasus korupsi beasiswa tahun 2017 yang berlangsung di Aula Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Aceh pada Rabu (12/7/2023).
Diskusi itu adalah untuk menyamakan persepsi antara penyidik dengan penuntut umum dalam menangani perkara tindak pidana korupsi bantuan biaya pendidikan atau beasiswa yang dianggarkan melalui BPSDM Aceh pada tahun 2017, kata Dirreskrimsus Polda Aceh Kombes Pol Winardy dalam keterangannya di Polda Aceh Kamis (13/7/2023).
Winardy menjelaskan, dalam FGD tersebut penyidik telah menghadirkan para ahli untuk mencari solusi dan membuat terang atas perbedaan pemahaman dari JPU terkait penanganan perkara korupsi beasiswa dari Pemerintah Aceh itu.
Ada dua materi khusus yang dibahas dalam FGD itu, pertama tentang kualifikasi bantuan biaya pendidikan untuk keluarga miskin/tidak mampu, dalam perkara ini menjadi pertentangan dengan tujuan saat anggaran sebagaimana yang tercantum dalam DPA.
Kedua, terkait perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP diragukan dengan adanya perbedaan tujuan anggaran untuk masyarakat Aceh dengan Pergub Aceh nomor 58 tahun 2017 dan Petunjuk Teknis (Juknis) . Beasiswa Pemerintah Aceh serta dimasukannya jenjang D3,D4 dan Dokter Spesialis dalam perhitungan kerugian negara sebagai sumber atau akibat kerugian negara,” jelas Winardy.
Winardy juga menyampaikan beberapa poin penting hasil dari FGD tersebut, yaitu tidak ada pertentangan antara tujuan anggaran dalam DPA dengan pelaksanaan kegiatan dalam Pergub 58 Tahun 2017 dan Juknis karena tujuan anggaran hanya bersifat umum (nomenklatur) yang selanjutnya akan dilaksanakan kegiatan tersebut dengan Pergub 58 Tahun 2017 sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan yang mengatur secara umum dan rinci.
Pergub harus ditaati di dalam proses pelaksanaannya, karena Gubernur selaku  penanggug jawab memiliki kebijakan penuh dalam pengelolaan keuangan daerah juga Juknis sebagai tata laksana kegiatan oleh BPSDM Aceh, sepanjang Pergub itu tidak pernah dibatalkan, maka tetap sah dan harus dilaksanakan.
Ketika pelaksanaan tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan Pergub dan Juknis justru merupakan penyalahgunaan wewenang. Dengan tidak dilakukan pengujian terhadap keluarnya uang negara yang seharusnya tidak keluar yang menjadi penyebab kerugian keuangan negara.
Selama uang negara tidak sesuai dengan tujuan dan pelaksanaannya maka terjadilah tindak pidana korupsi. Dalam pengujian keuangan wajib diperhatikan uji pagu dan Pergub 58 tahun 2017, Spesifikasi harga satuan serta tujuan hak dan kewajibannya, kata Winardy.
Otoritas Parlementer, Presidientil dan Ministry menjadi tunggak lahirnya DPA, artinya dalam kasus beasiswa bantuan biaya pendidikan dari Pemerintah tidak hanya berbicara miskin atau tidak miskin.
Keluarnya uang negara yang tidak sesuai dengan peruntukkannya merupakan kerugian keuangan negara.
Dalam perkara tersebut telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 16,069 miliar, telah nyata, yakin, dan pasti. Kemudian, proses perhitungan kerugian keuangan negara yang dihitung oleh BPKP Perwakilan Aceh adalah berdasarkan DPA, Pergub, dan Juknis tidak secara langsung berdasarkan miskin/tidak miskin, kata Winardy lagi.
Dalam laporan auditor, ahli tidak pernah membuat narasi miskin atau tidak miskin, melainkan berasal dari keluarga tidak mampu dengan dibuktikan Surat Keterangan Miskin atau Tidak Mampu yang diterbitkan oleh keuchik atau nama lain mengetahui camat setempat, foto rumah atau tempat tinggal sesuai dengan alamat KTP dan melampirkan bukti tagihan rekening listrik yang termuat dalam syarat umum dan khusus sehingga dinyatakan berhak atau tidak berhak.
Terkahir kata Winardy, hasil FGD tersebut adalah jenjang pendidikan D3, D4 dan Dokter Spesialis berdasarkan keterangan ahli boleh dibayarkan, selagi memenuhi syarat umum dan khusus serta Juknis.
Dengan demikian hasil FGD tersebut menunjukan bahwa pendapat para ahli dengan hasil penyidikan sudah sinkron. Maka, JPU seharusnya sudah cukup bahan untuk mengajukan penuntutan dengan menyatakan berkas perkaranya sudah lengkap, apalagi sudah dua kali P19 dan semua yang diminta oleh JPU sudah dipenuhi penyidik.
“Rencana ke depan, penyidik akan berkonsultasi dengan Korsup KPK untuk melakukan supervisi kembali dan berkoordinasi dengan tim JPU, sehingga berkas perkara tersebut bisa diajukan ke persidangan sesuai harapan masyarakat Aceh yang sudah menunggu lama akan kepastian hukum terhadap perkara ini,” harap Winardy.
FGD tersebut dihadiri Jaksa Penuntut Umum Kejati Aceh, penyidik Subdit III/Tipidkor Ditreskrimsus Polda Aceh, staf tenaga ahli banggar DPRA, Kepala Biro Hukum Provinsi Aceh, perwakilan Inspektorat Aceh, Kabid Pendapatan BPKA Aceh, ahli auditor BPKP Perwakilan Aceh, perwakilan BPK RI, ahli kerugian keuangan negara, ahli tindak pidana korupsi, serta Kepala Bappeda sebagai tim TAPA Pemerintah Aceh. (**)