Acehglobal.com — Banda Aceh.
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh Prof Dr Drs Yusri Yusuf, M.Pd mengajak semua pihak untuk menghidupkan kembali semangat pelestarian adat yang bukan hanya sebagai simbol masa lalu, tetapi sebagai pijakan masa depan.
Menurutnya, adat harus hadir di sekolah, di rumah, di kampung, dan bahkan di ruang-ruang digital, sebagai nilai untuk membentuk karakter, memperkuat identitas, dan merawat harmoni sosial.
Demikian hal itu disampaikan Ketua MAA Prof Yusri Yusuf usai dikukuhkan bersama pengurus MAA Provinsi Aceh Pengganti Antar Waktu (PAW) periode 2021-2026 oleh Wali Nanggroe Aceh Paduka Yang Mulia Teungku Malik Mahmud Al Haytar di Aula Mahkamah Syariah Aceh Kamis (28/8/2024).
“Majelis Adat Aceh bukan lembaga pasif, ia adalah benteng budaya sebagai jantung nilai-nilai kearifan lokal juga pelita yang menuntun masyarakat untuk hidup dalam keadilan, kebersamaan dan kemuliaan.
Kami selaku Ketua Majelis Adat Aceh mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang masih peduli pada kehidupan adat dan adat istiadat Aceh, ujar Prof Yusri Yusuf.
Prof Yusri Yusuf juga menyampaikan rasa syukur dan penghargaan setinggi-tingginya atas amanah dan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya untuk memimpin MAA Provinsi Aceh.
“Amanah ini bukanlah kehormatan semata, tetapi tanggung jawab yang besar untuk menjaga marwah, martabat dan keluhuran Adat Aceh di tengah tantangan zaman yang terus berubah,” jelasnya.
Prof Yusri Yusuf menambahkan, Aceh adalah tanah adat. Adat di Aceh bukan sekadar simbol atau seremoni, tapi merupakan nafas kehidupan masyarakatnya.
Sebagaimana dalam pepatah, dalam pantun, dalam syair, dan dalam tata cara hidup sehari-hari membimbing manusia Aceh untuk hidup dalam kehormatan, keseimbangan, dan ketundukan kepada hukum Allah.
“Hukum ngon adat, lagee zat ngon sifeut (hukum dan adat ibarat zat dan sifat). Tanpa adat, hidup menjadi kering dan terasing, Tanpa hukum, hidup kehilangan arah dan kendali. Di sinilah peran Majelis Adat Aceh yang menghubungkan keduanya dalam satu tarikan nafas kehidupan bermasyarakat,” tegasnya.
Prof Yusri Yusuf merasa prihatin dengan kehidupan di era globalisasi dan digitalisasi sekarang. Banyak generasi muda Aceh yang mulai jauh dari nilai-nilai adat. Bahasa ibu mulai terpinggirkan, ritual adat dilihat sebagai hal usang, dan budaya luar masuk tanpa filter.
“Jika kita tidak segera bertindak, maka kita akan kehilangan akar yang menghidupi pohon kebudayaan kita sendiri”.
Untuk itu, saya mengajak semua pihak terutama para pemangku Adat, ulama, akademisi, Pemerintah daerah, pemuda, perempuan, dan seluruh elemen masyarakat, untuk bersama-sama mengangkat kembali kejayaan adat Aceh.
Bukan dengan nostalgia semata, tetapi dengan kerja nyata, dokumentasi, edukasi, revitalisasi, dan integrasi adat dalam kebijakan publik, imbuhnya.
Prof Yusri Yusuf mengutip hadih maja “Adat bak Po Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, bahwa kini adat bak Wali Nanggroe, geupeusaho lee MAA. Adat bersumber dari bijak bestari, hukum bersandar pada ilmu para ulama, ujar Prof Yusri.
“Mari kita jaga dan kita jadikan keduanya menjadikan adat sebagai jalan membangun masyarakat yang beradab, kuat, dan bermartabat. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai ikhtiar kita bersama,” pungkasnya.[**]