Selamat Hari Raya Idul Adha Selamat Hari Raya Idul Adha Selamat Hari Pancasila
Daerah  

Jangan Eforia Sukses Pertahankan 4 Pulau, Padahal Ekonomi Aceh Lebih Memprihatinkan.

Taufiq A. Rahim, SE., M.Si., Ph.D.

Acehglobal.com – Banda Aceh.

Keberhasilan Gubernur Aceh mempertahankan empat pulau di Aceh Singkil (Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek) jangan menjadikan kita eforia dan merasa sukses dalam kehidupan sesungguhnya, realistik empirik.

Karena ada kondisi yang lebih urgen yang harus menjadi atensi Pemerintah Aceh yakni, kondisi sektor ril dan berbagai persoalan mendasar juga mesti menjadi perhatian penting.

Memang empat pulau itu kembali
menjadi milik Aceh, namun batas wilayahnya belum terselesaikan dengan jelas dan konkrit.

“Termasuk tidak jelasnya bukti pencabutan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Mendagri-RI) yang membuat polemik serius konflik baru RI-Aceh belum juga dicabut.

Sehingga dapat dipastikan upaya  Mendagri-RI tidak serius  menghadapi gejolak yang timbul ditengah masyarakat.

Menurut Dosen Fakultas Ekonomi Unmuha Aceh Taufiq A Rahim, SE., M.Si., Ph.D, kondisi seperti itu dapat menciptakan disintegrasi bangsa, karena seluruh elemen masyarakat Aceh melawan terhadap Jakarta.

Pada sisi lain, kondisi terkini tingkat pertumbuhan ekonomi Aceh  pada triwulan pertama 2025 tercatat secara kuantitatif hanya sebesar 4,5 persen. Sementara secara nasional pertumbuhan yang berlaku sebesar 4,87 persen.

Karena itu diperkirakan pada akhir tahun akan mengalami pertumbuhan ekonomi Aceh sekitar 4,34 persen (YoY). Hal itu jauh dibawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,05 persen (YoY).

Sehingga, berlaku kesenjangan dari segi pertumbuhan ekonomi antara Aceh dan nasional yang diperkirakan juga semakin melebar yaitu pada tahun 2024 sekitar 0,4 persen menjadi 0,71 persen pada tahun 2025.

“Nah, hal ini menjadi sangat serius dikarenakan berbagai fundamental ekonomi Aceh yang tidak mampu didorong melalui stimulus yang efektif terutama sector ril dan sector basic,” kata DR Taufik A Rahim Minggu (6/7/2025) di Banda Aceh.

Hal mana digambarkan secara kuantitatif bahwa, Anggaran Pendapat dan Belanja Aceh (APBA) berjumlah Rp 11.006.439.723. 330.

Anggaran tersebut diperuntukan untuk anggaran belanja publik Aceh dengan 55 Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Badan, Lembaga dan Dinas  dalam Pemerintahan Aceh.

Pun demikian, kondisi real penggunaan angaran target keuangan 29,4 persen dan fisik 30,0 persen. sementara itu realisasi anggaran sampai dengan 28 Mei 2025 sebesar keuangan 21,7 persen dan fisik 24,0 persen.

Dengan demikian deviasi keuangan -7,7 persen dan fisik -6,0 persen, hal ini menunjukkan bahwa, kondisi realisasi anggaran belanja pada kuartal ke-II masih sangat rendah serta memprihatinkan terhadap permasalahan pembangunan dan makro ekonomi Aceh, kata Taufik.

Taufik menjelaskan, aktivitas makro ekonomi Aceh sangat signifikan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga masyarakat (house hold) sekitar 55 persen Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB), karena secara prinsipil dan siklus makroekonomi hanya didukung oleh 30 persen dari investasi diharapkan sebagai stimulus utama pertumbuhan ekonomi Aceh.

Akan tetapi pada sisi lainnya laju inflasi yang berlaku juga diperkirakan sebesar 3,11 persen (YoY).

Sementara itu secara nasional sebesar 1,95 persen karena pengaruh dari kenaikan tarif listrik dan fluktuasi kenaikan harga emas.

Disamping itu velocity of money (peredaran uang dalam kehidupan masyarakat juga rendah, juga berlakunya tantangan terbesar dan merupakan persoalan klasik tingkat kemiskinan berada pada posisi 12,64 persen, juga persoalan mendasar terhadap pengangguran Aceh terhadap usia kerja di atas 5 persen.

Sehingga beban kehidupan serta persoalan makroekonomi Aceh berada kondisi yang memprihatinkan, baik analisis mikro dan makroekonomi Aceh, jelas Taufik.

Taufik menambahkan, Dalam hal ini kepemimpinan Aceh yang sangat lemah bahkan tidak pro-rakyat serta tidak mampu memanfaatkan anggaran belanja publik secara efisien dan efektif ditengah isu efisiensi penggunaan anggaran yang tidak mampu disikapi secara bijaksana dengan pendekatan makroekonomi.

Semestinya kebijakan fiskal dan moneter dengan menerapkan politik anggaran sesuai dengan aktivitas ekonomi ril masyarakat, sektor basic, usaha mikro kecil dan menengah, sektor informal, industri rumah tangga, pelayanan jasa umum, transportasi dan lainnya tidak membebani masyarakat/rakyat Aceh, termasuk pengenaan tarif listrik, air minum dan bahan bakar minyak (BBM) serta gas.

Ini semestinya dilakukan dengan penerapan kebijakan politik anggaran mesti dilaksanakan oleh SKPA/Dinas dengan efektif, efisien serta tepat sasaran.

Karena selama ini Aceh berada pada posisi phery-phery (marginal/terpinggirkan) secara ekonomi industri dan sentral bisnis, sehingga aktivitas ekonomi dan distribusi barang dan jasa Aceh yang berasal dari hasil produksi luar Aceh, ini memicu kenaikan harga transportasi, konon pula pada daerah terpinggirkan yang mengalami biaya produksi dan distribusi dua kali lipat bahkan lebih, hal ini secara realitas ekonomi memicu inflasi dan biaya tinggi.

Dan secara rasional risiko ekonomi-politik yang dihadapi adalah, aktivitas ekonomi Aceh berbiaya tinggi (high-cost economy). Konon pula aktivitas ekonomi belanja online dan offline menjadikan konsumsi ekonomi Aceh sekitar 55 persen, ini berlaku di Aceh.

Dari aktivitas pertumbuhan ekonomi terhadap siklus ekonomi sektor konsumsi tersebut diperkirakan pada tahun 2025 sekitar Rp 61,75 triliun, perkiraan terhadap konsumsi pengeluaran rumah tangga (house hold) sekitar Rp 33 triliun mengalami siklus ekonomi dan bisnis di Aceh.

Dengan demikian, diperlukan sikap, kebijaksanaan elite pemimpin Aceh (Gubernur Aceh) untuk memahami, mempelajari, mengambil sikap serta kebijakan politik anggaran yang jelas dan efektif.

Sehingga tidak terlalu eforia dengan keberhasilan dikembalikannya empat pulau dengan persoalan administratif yang tidak jelas serta asal-asalan dilakukan oleh Mendagri RI.

Secara prinsipil, aktivitas kehidupan makroekonomi masyarakat/rakyat Aceh yang saat ini masih memprihatinkan dengan gambaran realitas kehidupan serta angka-angka statistik kuantitatif makroekonomi Aceh dan juga serapan anggaran yang rendah, maka mesti diterapkan kebijakan politik anggaran yang jelas, transparan serta bertanggung jawab, ujar Taufik.(**)