Acehglobal.com – Banda Aceh.
Badan Reintegrasi Aceh (BRA) meluncurkan buku Dua Dekade Damai Aceh yang berlangsung di Aula Teater Museum Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh Kamis (26/6/2025).
Kepala BRA Jamaluddin SH, M.KN berharap buku setebal 236 halaman tersebut bisa menjadi penambah literasi tentang pentingnya merawat perdamaian Aceh yang sudah berjalan dua puluh tahun.
Bedah buku ini sengaja digelar di kampus sebagai upaya untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang pentingnya menjaga dan merawat perdamaian Aceh secara menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat.
“Perang telah menyebabkan hancurnya pendidikan dan ekonomi. Saya berharap agar para mahasiswa bisa memperdalam pendidikan tentang perdamaian Aceh. Mari terus merawat perdamaian Aceh secara menyeluruh dan bermartabat dalam NKRI, karena ini amanah undang-undang,” jelas Jamaluddin.
Jamaluddin juga berpesan kepada para mahasiswa untuk menggunakan jalur pendidikan sebagai jalan perjuangan untuk membangun Aceh yang lebih baik di masa yang akan datang.
“Demi kemanusian, perang dihentikan, maka rawat dan isi perdamaian ini dengan hal-hal yang konstruktif bagi Aceh yang bermartabat. Pendidikan merupakan jalan untuk membangun Aceh yang lebih baik,” ujar Jamaluddin.
Hal senada juga disampaikan Wakil Rektor III UIN Ar-Raniry Prof Dr Mursyid Djawas, M.H.I saat membuka acara bedah buku yang ditulis oleh seorang jurnalis Aceh Iskandar Norman, dimana ia berpesan agar mahasiswa mengisi perdamaian Aceh dengan hal-hal positif.
“Upaya untuk mewujudkan perdamaian Aceh ini sangat melelahkan, Rawat terus perdamaian ini untuk mewujudkan pembangunan Aceh yang berkelanjutan,” pesan guru besar bidang metodologi hukum Islam tersebut.
Bedah buku yang dimoderatori oleh Putri Wardaniah itu menghadirkan lima pemateri yakni, Prof Kamaruzzaman Bustaman – Ahmad (KBA) guru besar bidang ilmu antropologi agama UIN Ar-Raniry Dr M Adli Abdullah (dosen hukum adat Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala) yang juga staf khusus Menteri Agraris dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BNP), Dr Reza Indria akademisi dan antropolog UIN Ar-Raniry, Dr Rasyidah M.Ag akademisi UIN Ar-Raniry yang juga aktivis gerakan perempuan Aceh, serta Ketua Jurusan FISIP UIN Ar Raniry yang juga Direktur Aceh Institute Muazinah Yakob BA, MPA.
Prof Kamaruzzaman yang tampil sebagai pemateri pertama menyampaikan narasi tentang damai Aceh yang sudah banyak ditulis sejak tahun 2005. Kajian tentang perdamaian Aceh telah melahirkan banyak doktor. Karena itu ia berharap agar UIN Ar-Raniry bisa membuka program doktoral peace education.
“Aceh merupakan laboratorium ilmu sosial. Konflik di Patani bagian selatan Thailand dan Mindanao di Filipina belum usai. Pengalaman Aceh bisa menjadi semacam lesson learned untuk penyelesaian konflik di Asia Tenggara bahkan Timur Tengah,” ujarnya.
Pembedah kedua, Adli Abdullah menilai buku Dua Dekade Damai bagus dalam kontek penulisan sejarah perdamaian Aceh. Tapi perlu ada evaluasi terhadap apa saja yang sudah dicapai dalam perjalanan 20 tahun perdamaian Aceh.
“Secara dokumentasi buku ini sangat berguna untuk penulisan buku-buku lain tentang perdamaian Aceh. 20 tahun damai adalah babak, bukan akhir cerita. Buku ini bagian dari sejarah itu sendiri,” ungkapnya.
Hal yang sama juga disampaikan Dr Rasyidah, penulisan buku secara kronologis dari satu momentum ke momentum lain dalam proses perdamaian Aceh, mampu mengcapture jalannya damai Aceh dengan baik.
“Seolah-olah seperti sebuah film yang hidup, mengambil fokus-fokus tertentu sebagai penekanan. Pendekatan yang diakronik memudah pembaca memahami jalan damai Aceh dari waktu ke waktu secara kronologis,” nilainya.
Pembedah lainnya Reza Indria berharap buku ada kelanjutan dari penulisan buku sejarah perdamaian Aceh, untuk mengisi beberapa kekosongan yang belum sepenunya tercover dalam buku tersebut.
“Buku ini menawarkan suatu kronik sejarah yang penting, yang nantinya bisa digunakan untuk penulisan buku lainnya. Momentum dua dekade damai ini bisa menjadi acuan pendidikan damai dalam kurikulum pendidikan tinggi. Minimal menjadikannya sebagai mata kuliah wajib di universitas,” sarannya.
Pembedah lainya Muazinah Yakob menilai buku Dua Dekade Damai Aceh masih perlu disempurkan atau ada penulisan buku lainnya yang lebih komprehensi tentang perdmaian Aceh.(**)